Bittersweet


 “Kamu jangan takut. Kematian bukan untuk ditakuti.”
“Mengapa? Aku benci hidupku. Aku benci Tuhan yang menciptakanku seperti ini!”
“Jika kamu benci hidupmu, bolehkah ku tutup matamu sekarang juga?”
“Untuk apa?”
“Nanti juga kamu tahu…”
***
            Sudah cangkir kelima. Gerimis masih bermain riang di luar. Seperti anak kecil yang enggan berhenti bermain, berlari ke sana kemari. Sesekali genit menyapaku yang termenung suntuk di dalam kafe ini. Dingin. Namun ia belum juga datang.
            Jika kamu melihat gadis memakai sweater abu-abu bermotif kucing dengan jilbab hitam menutupi kepalanya duduk sendiri di kafe ini, sudah pasti itu aku. Barista yang memakai kaus hitam itu, masih saja sibuk meracik kopi untuk para pelanggan yang datang. Ia sudah terbiasa dengan kedatanganku di sini. Bukan hal yang asing baginya mendapatiku duduk berjam-jam di dalam Bon Café. Namanya Tomi. Barista paling manis yang pernah ku temui. Matanya teduh, pundaknya tegap, tinggi dan bibirnya itu... Ah! Dalam keadaan diam pun bibirnya Seperti tampak tersenyum. Membuat banyak gadis di kota ini senang datang ke sini. Entah memang suka dengan kopi, atau hanya flirting semata. Aku tak tahu.
            Senja yang anggun hampir tiba. Tetapi kelabu dengan gerimis kecilnya ini tidak pergi-pergi juga. Tidak apa. Buktinya, kini jendela kafe menjadi layar nyata sebuah pemandangan yang indah. Senja dan kelabu menyatu. Cantik.
So please, please, please. Let me, get what I want.. Lord knows, it would be the first time..
            Lagu Please Let Me Ge What I Want dari The Smiths terdengar di penjuru ruangan. Entah siapa yang memutar lagu itu. Aku berterimakasih karena sudah memutarkan lagu kesukaanku. Sudah cangkir kelima. Dan kali ini rasanya sedikit pahit. Aku bukanlah pencandu kopi. Justru aku tidak terlalu suka kopi. Aku hanya memesan cokelat panas. Tapi mengapa di sesapan terakhir rasanya menjadi sedikit pahit?
“Besok temui aku di Bon Café pukul tiga sore.”
“Untuk apa?”
“Nanti juga kamu tahu..”
***
            Jika kamu belum mengenalku, kamu akan mendapatiku sama seperti gadis normal lainnya. Ya, memang seharusnya begitu. Seharusnya aku normal seperti mereka. Tetapi rasanya tidak mungkin. Sudah terlambat. Semua sudah terjadi dan kini aku harus menerima resiko dari apa yang aku perbuat waktu itu. Kalau kamu ingin tahu, mari mendekat. Akan kuceritakan semua tentang ku. Dan tentangnya, yang membuatku rela menunggu berjam-jam seperti ini.
            Namaku Ruth. Hanya itu. Tidak ada nama depan dan belakang. Kamu boleh memanggilku Ruth, atau apa saja. Entah mengapa orangtuaku memberi nama sesederhana itu. Seperti nama yang kumiliki, aku merupakan anak tunggal. 20 tahun yang lalu, aku dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang memiliki financial di atas rata-rata. Bisa dibilang kaya. Tapi aku benci kata itu. Kaya menurutku hanya untuk mereka yang bisa menghabiskan waktunya dengan kedua orangtua mereka. Kaya menurutku hanya untuk mereka yang hidup sederhana, tetapi tak luput dari perhatian nyata orangtua.
            Orangtuaku setiap hari sibuk memperkaya diri. Papa terlalu sibuk berwara-wiri ke luar negeri. Dari mulai berbisnis, sampai pertemuan rapat dengan kepala perusahaan.  Pergi subuh, pulang dini hari. Bahkan tidak pulang selama berhari-hari. Mama pun begitu. Ia terlalu sibuk mengurus perusahaan kosmetik yang kini ia pegang. Perusahaan keluarga yang turun temurun dari nenek. Menjadi pembicara workshop entrepreneurship di sana-sini, mengurusi keperluan bisnis di luar negeri, sampai sekedar berbelanja barang-barang yang sebenarnya banyak ditemui di Indonesia. Terlalu banyak uang yang mereka habiskan untuk memenuhi semua keinginanku, terlalu sedikit waktu yang mereka habiskan hanya untuk memperhatikanku.
            Dari kecil aku terbiasa hidup diurusi oleh pembantu. Mbok Asih lah yang sehari-hari mengurus rumah dan aku, tentunya. Namun, aku terlalu sombong dan tidak sudi hidup diurus oleh seorang pembantu. Kini aku sadar bahwa selama ini, mbok Asih lah sosok ibu yang sebenarnya. Sosok ibu yang tidak kudapat dari seorang ibu yang melahirkan aku. Untuk urusan sekolah, mbok Asih angkat tangan. Tapi untuk urusan di rumah, beliau juaranya. Membangunkanku di pagi hari, membuat sarapan, menyetrika baju, membereskan kamar, sampai shalat lima waktu selalu diingatkan olehnya. Namun, aku terlalu sombong untuk mengingat Tuhan..
“Non Ruth, udah Maghrib. Solat dulu neng, bangun.” Teriak Mbok Asih dari luar pintu kamarku.
“Apaan sih mbok. Berisik!” Jawabku ketus. Tak kuhiraukan teriakan Mbok Asih dengan semakin menenggelamkan tubuhku ke dalam selimut.

***
“Nu, gue bawa cokelat satu kardus nih. Lu bagiin yak ke anak-anak kelas.”
“Asyik! Mana cokelatnya?” Tanya Danu sumringah setelah ku temui ia di kantin sekolah.
“Ada di bagasi mobil. Lu ambil gih. Anak-anak kelas lain pasti pada mau. Bilang aja, ini anggaran kelas lu. Jangan ganggu,”
“Beres Ruth… Mana kunci mobilnya?”
“Nih! Jatah buat mereka lu yang handle ya. Bebas…”
“Wah kalo gitu buat gue yang banyak dong! Hahaha. Thanks Ruth!” senyum licik tersungging di bibirnya seraya bergegas pergi menuju parkiran sekolah.
            Dasar manusia-manusia bermuka dua! Hanya dengan begini mereka tersenyum padaku. Menganggapku ada. Biasanya, teman-teman kelasku itu acuh padaku. Terlalu banyak sekat diciptakan di kelas yang ku duduki selama tiga tahun belakangan ini. Yang cantik dan kaya, bergaul dengan yang cantik dan  kaya pula. Begitu pula dengan si tampan. Kelompok kelas menengah ke bawah pun begitu. Entah apa yang menjadikan tingkat kesombongan merka selangit. Seakan pintu untukku ditutup rapat oleh mereka. Hanya satu yang membuat mereka tertawa senang atas kebahagiaan mereka sendiri, yaitu hartaku. Aku muak dengan pertemanan seperti itu.
***
            Jauh dari perhatian orangtua, tidak mempunyai teman, membuatku semakin sinis terhadap hidup yang diciptakan oleh Tuhan. Ya, aku tidak percaya Tuhan itu ada untukku. Tuhan hanya ada untuk mereka. Teman setiaku hanya minuman beralkohol yang diam-diam ku beli di bar kawasan Kemang. Aku menemukan mereka, teman-teman yang menerima keberadaanku di sana. Jangan bertanya-tanya, mengapa aku diperbolehkan masuk ke dalam bar di sana. Mendengar nama orangtuaku saja mereka sudah bertekuk lutut. Biar saja aku menyalahgunakan kekuasaan mereka sebagai pelarianku. Biar saja.
            Namanya Ellen. Perempuan keturunan Belanda yang bertemu denganku ketika aku mabuk berat. Aku yang kala itu sudah hampir pingsan di tempat, dibawanya keluar dari bar menuju apartemennya yang tidak jauh dari situ. Lalu, di pagi yang tidak pernah ku lupa, ketika aku membuka mata ia sudah ada di sampingku memberikan segelas susu dan sekerat roti selai kacang.
            Kehidupanku dengan Ellen ternyata tidak jauh berbeda. Orangtuanya yang merupakan pemilik dari hotel terkenal di Jakarta, menjadikan kesempatan mereka dengan Ellen semakin terbatas. Dari rasa ditidakpedulikan itulah kami merasa cocok satu sama lain. Aku senang mempunyai teman yang memiliki cara pandang yang sama. Dengannya, aku bisa melupakan semua kekesalan yang aku alami di sekolah. Sepulang sekolah, aku lantas bergegas pergi menuju apartemennya. Menjemputnya di sana, lalu hang out hingga larut malam. Begitu seterusnya. Kalian pasti berpikir,di dalam kondisi yang seperti ini, aku akan terjebak oleh Ellen yang merupakan pencandu narkoba dan hingga akhirnya aku pun ikut masuk ke dalam jerat tanpa ujung itu. Tidak, aku tidak seperti itu. Ellen hanya pemabuk berat. Aku pun begitu. Kami sama-sama menikmati siklus di mana aku minum -entah berapa gelas banyaknya- hingga tak sadarkan diri lalu lupa dengan semua permasalahan yang kuhadapi dalam sesaat.
***
Thanks for having fun with me, through my days happier ever, Ellen. Thanks for being my friend. But now, I have to seriously study for final exam. I hope you understand ;)
Your buddy, Ruth.
***
           Aku telah berfikir keras memutar otak agar Ujian Nasional bulan depan akan berjalan lancar. Aku harus lulus. Akan tetapi, buku-buku pelajaran untuk menghadapi UN yang tidak pernah aku sentuh dengan pola hidupku yang semakin tidak teratur karena terlalu asyik having fun dengan Ellen membuat kata ‘lulus’ semakin sulit dicapai. Malam itu, aku mengirim sms terakhir kepada Ellen, semoga dia mengerti bahwa ada hal yang harus kuhadapi bulan depan. Aku harus belajar. Ya, mau tidak mau…
***
“Non Ruth, dari kemaren ada temennya nyariin ke rumah, lho non. Tapi Non nggak ada. mbok jadi bingung, kok tumben ada temen non dateng ke rumah, ya..” celetuk Mbok Asih ketika aku tengah sibuk mengikat tali sepatu.
“Siapa mbok?”
“Kalo ndak salah namanya Rubi. Ganteng, non. Ganteng. Katanya temen kelasnya non Ruth”
“Oh, itu.” Aku berusaha mengingat-ingat sosok itu. Entahlah, aku lupa. “Yaudah lah mbok. Aku pergi.”
            Rubi..Rubi. Sepanjang perjalanan aku berusaha mengingat namanya tapi tidak berhasil kutemukan siapa dia. Aku tidak peduli pada mereka. Teman-teman kelas bermuka dua. Semua menurutku sama saja. Namun, mendengar kabar seperti itu dari Mbok Asih, aneh sekali. Ada apa ia datang ke rumah? Aku tidak pernah sekalipun membawa mereka datang ke rumah.

***
            Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, aku duduk sendiri di dekat jendela kelas. Melihat daun-daun berjatuhan dari pohon yang tertanam di pinggir lapangan. Sejuk dan sepi, karena penghuni kelas tengah asyik mengisi perut kelaparan mereka di kantin.
“Hey, Ruth!”
Ada yang memanggilku dari belakang. Suaranya seakan mendekat.
“Ruth..”
Aku menengok ke kiri siapa pemilik suara yang memanggilku barusan. Oh, dia. Tapi, siapa dia? Aku lupa namanya.
“Ke mana aja Ruth? Bulan depan udah UN, tapi kamu jarang masuk sekolah. Guru-guru nanyain, lho.” Ujarnya seraya tersenyum.
“Elo.. siapa?”
“Eh? Udah dua tahun gue di sini, masak nggak tau nama aku? Hahaha. Bercanda nih..”
“Gue serius. Sori, tapi gue lupa nama lo.”
“Aku Rubi.”
“Rubi?!”
“Iya.” Ia tersenyum lagi. “Boleh aku duduk di sini?”
“Yang kemaren-kemaren nyari gue di rumah? oh, itu elo…”
“Iya. Boleh aku duduk di sini?” tanyanya sekali lagi.
“Duduk aja. Ngapain lo nyari gue di rumah?”
“Oh, itu. Hehe. Tadinya mau ngasih catetan aku buat kamu, Ruth. Kamu jarang masuk akhir-akhir ini. Bulan depan udah mau UN, jadi.. ya, aku mau kasih tau aja, gitu.”
            Pagi itu, kami berbincang banyak sekali. Ternyata, ia sudah lama memperhatikanku. Hanya saja, aku terlalu menutup mata kepada semua murid di kelas. Hingga menyamaratakan mereka dengan pemikiran bermuka dua.

***
            Dua bulan lalu, tepat satu bulan setelah kelulusan sekolah, aku didiagnosa oleh dokter bahwa aku mengidap kanker jenis Glioma. Sebelum memeriksakannya ke dokter, aku mengeluh rasa sakit teramat sangat di bagian kepala dan tengkuk. Dokter bilang, kanker ini menyerang susunan syaraf, seperti sel-sel glia yang menunjang syaraf pusat. Tuhan, mengapa kau begitu tidak adil kepadaku?
            Kini, aku menutupi kepalaku yang botak dengan berkerudung. Tentu itu ajakan Rubi. Ia bilang, jangan memakai hoodie atau topi. Karena menurutnya, wanita islam lebih cantik ketika mereka mengenakan jilbab menutupi kepalanya. Apapun itu, aku tetap belum percaya dengan adanya Tuhan. Tuhan menurutku tidak adil. Belum sempat aku bertemu dengan keadilannya, aku mengidap penyakit ini dan tinggal menunggu kematian yang semakin hari semakin dekat saja.
            Sampai pada akhirnya, kemarin ketika kami berdua pergi bersama menuju daerah puncak..
“Kamu jangan takut. Kematian bukan untuk ditakuti.”
“Mengapa? Aku benci hidupku. Aku benci Tuhan yang menciptakanku seperti ini!”
“Jika kamu benci hidupmu, bolehkah ku tutup matamu sekarang juga?”
“Untuk apa?”
“Nanti juga kamu tahu…”
            Ia lalu memberhentikan mobilnya. Menghampiriku, lalu menutup mata dengan syal miliknya yang lembut.
“Sakit, tau!”
“Sabar. Nah, sekarang. Ayo buka syalnya.”
            Ketika aku membuka mata, di luar sana, terdapat banyak sekali gunungan sampah. Bahkan sudah sepeti kawasan sampah menurutku. Tetapi, banyak wanita tua tanpa penutup hidung dari bau busuk sampah, memunguti satu dua plastik ke dalam keranjang yang ia panggul di punggungnya. Anak kecil disampingnya menangis seraya memegang boneka beruang sangat kotor. Mungkin itu boneka yang ia temukan dari gunungan sampah tersebut. Tidak hanya wanita tua, pria paruh baya, anak-anak banyak sekali berjuang memungut sampah. Aku tak tahu tujuan dari mereka melakukan hal menjijikan seperti itu.
“Ada air terjun di matamu, Ruth.”
“Rubi, bawa aku keluar dari sini.”
“Kenapa?”
“Aku malu. Seharusnya aku menikmati hidupku.”
“Menurutmu, dengan adanya mereka, Tuhan itu ada?”
“Entahlah, tapi aku tahu, Tuhan ada untukku. Ke mana saja aku selama ini?”
Rubi diam.
“Aku mungkin tidak akan takut dengan kematian. Selama hidup aku tidak pernah bergumul dengan sampah-sampah itu. Aku tidak pernah mencium bau busuknya. Dalam kematian tidak akan ada sampah kan, Rubi? Tidak ada kan??”
Rubi diam dan tersenyum.
“Besok temui aku di Bon Café pukul tiga sore.”
“Untuk apa?”
“Nanti juga kamu tahu..”
Rubi tetap tersenyum.
***
            Senja sudah hilang, kamu pun tentu sudah bosan mendengar cerita tentangku. Aku hendak beranjak bangun dari kafe ini ketika Rubi datang dari ambang pintu.
“Kamu kemana saja?”
“Maaf Ruth, aku terjebak macet.” Jawab Rubi sengau. Ada kelelahan terpancar dari wajahnya. “Maaf, Ruth. Boleh aku duduk di situ? Ia menunjuk bangku yang baru aku tinggalkan tadi. Aku tak bisa menolaknya..
“Ruth, Tuhan menitipkan salam-Nya padamu,” Rubi tersenyum.
“Apa maksudmu?”
“Tuhan menyayangi kamu, Ruth. Nikmati saja hidupmu, jangan pernah takut menghadapi kematian. Cintai Tuhan seperti Ia mencintaimu sejak engkau dilahirkan,” Rubi masih tersenyum.
Aku tidak mengerti dengan semua ucapannya.
“Oh, ya. Aku keluar sebentar, ya.”
“Mau apa lagi, Rubi? Jangan pergi.”
“Mau membeli sesuatu di sebelah kafe ini. Hehe” ujarnya seraya pergi.
            Aku tersenyum malu menatap punggungnya yang tegap dengan jaket hitam kesukaannya itu. Ku pandangi sekeliling, televisi plasma di sudut ruangan ini menayangkan berita lima menit yang dibuat oleh salah satu stasiun televisi swasta. Ternyata beru saja ada kecelakaan yang terjadi di kawasan Tugu Tani. Terlihat jelas beberapa korban bersimbah darah namun dengan wajah sengaja diburamkan. Jaket itu.. sepertinya aku mengenalinya. Jaket yang dikenakan Rubi barusan. Ada sebuket mawar berserakan di sekelilingnya.
            Apakah itu kamu, Rubi?
            30 menit Rubi tak kunjung datang. Ternyata Tuhan memang menyayangiku, menyayangi Rubi. Kami. Tuhan menciptakan pertemuan terakhir kami di sini. Lalu semua samar. Sesak. Semua gelap.

-Seleksi Peksiminas 2012-

4 comments:

 

Twitter Updates

Meet The Author