#14 Endlessly

“Jadi menurut lo, gue mesti gimana ya vi?”
“Lo tembak dia, atau you will lose everything, bar.” Ujarku tegas. Pandangan mataku focus pada lemon tea yang kini surut . Sudah satu jam lamanya aku dan Akbar, sahabatku itu duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumahku. Sore itu, Akbar datang menemuiku kerumah. Seharusnya kami bergegas pergi ke sekolah untuk mengikuti les pemantapan sebelum Ujian Nasional. Namun untung saja aku baru selesai mandi sore, ketika kudapati sms dari ketua kelas yang memberitahukan bahwa Pak Jeremy, guru les bahasa Inggris kami sakit sehingga terpaksa tidak bisa datang. Pas sekali rasanya karena aku sedang malas-malasnya pergi keluar rumah karena dampak dari datang bulan di hari pertama.
“Kania orangnya feminine banget. Gue bingung mau kasih dia apa..” Akbar meneguk habis kopi yang sudah dua cangkir aku buatkan untuknya. “Vi, nambah lagi dong..” ia lantas menyodorkan cangkirnya padaku. Dari bahasa tubuhnya aku tahu bahwa Akbar tidak tenang. Ia terus memikirkan Kania yang sudah lama di diam-idamkannya. Sudah dua bulan ini mereka mulai terlihat dekat. Akbar tampaknya ingin sekali menyatakan perasaannya langsung terhadap Kania. Seperti yang biasa ia lakukan jika mempunyai suatu masalah, ia selalu bercerita dan bertanya tentang pendapatku. Kali ini memang berbeda, bukan tentang masalah keluarga ,teman, atau nilai yang turun. Tetapi lebih dalam lagi, masalah cinta.
“Gue bukannya pelit ya, tapi kayaknya lo terbawa suasana banget deh. Gak usah nervous gini kali bar. Santai aja. Gak baik juga loh minum kopi terlalu banyak. Udah ah, gue kasih air putih aja ya..” aku meraih cangkir yang bertuliskan Papa itu. Cangkir yang sengaja dipilih khusus untuk Akbar jika ia datang ke rumah.
“Yah elaah. Buatin lagi dong Luvi Valencia sahabat gue yang cantik baik hati rajin menabung dan tidak sombong. Plis plis..”
“Gue bilang enggak. Sori dori ya. Gue lagi gak mood layanin lo segala macem..” Alu melenggang pergi masuk ke dalam rumah.
***
Hari itu, ketika moodku jelek tidak karuan karena ‘bulan yang datang’ ditambah lagi dengan Akbar yang semakin mantap karena perasaannya terhadap Kania. Tak lama lagi Akbar akan menembak gadis berparas cantik kelas 3 IPA 1 itu. Siapa yang tidak tahu Kania? Gadis lain pun pasti iri melihatnya. Cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang berwarna hitam alami yang terkadang dikuncir kuda jika cuaca sedang panas, tinggi semampai bak model. Ditambah lagi dengan segudang prestasi yang ia raih.Juara bertahan ranking 1 di kelasnya semenjak kelas 1 SMA, Juara 2 melukis tingkat Nasional, Juara 1 Speech Contest tingkat Provinsi, juara ini, itu sampai-sampai dijuluki ‘cewek juara’ oleh teman-teman seangkatan karena prestasinya yang terlampau banyak. Dan, ia juga menjuarai hati banyak cowok yang salah satunya adalah Akbar, sahabatku.
Banyak sekali hal yang aku takutkan jika Akbar suatu hari nanti menjadi pacar Kania. Mungkin dia tidak bisa lagi pergi dan pulang sekolah bersamaku karena ia harus menjemput serta mengantar pulang pacarnya ke rumah. Seluruh waktu tersita untuk Kania. Mungkin dia tidak bisa lagi mengajakku ke toko buku di hari Sabtu, lalu sama-sama mengulas cerita dari novel atau komik yang kami beli hingga larut malam. ‘Mungkin dia tidak bisa lagi datang ke rumahku di hari minggu pagi untuk bersepeda, atau di sore harinya untuk belajar bersama, mengerjakan pekerjaan rumah untuk pelajaran di hari Senin. Dan, ah entahlah. Aku merasa sangat takut kehilangan Akbar. Aku sadar memang, rasa takutku ini berlebihan. Kami berdua masih satu kelas hingga lulus nanti. Aku masih bisa melihatnya setiap hari, mungkin terkadang kami masih bisa bermain bersama, juga bersama Kania barangkali? Namun entah ada rasa yang sulit aku mengerti,satu-atunya hal yang kupikirkan saat itu hanya tentang rasa bahwa aku sangat takut kehilangan Akbar.
***
Lusa nanti, tepatnya di hari sabtu, rencananya Akbar akan menembak Kania didalam bianglala tepat ketika bianglala yang mereka tumpangi berhenti di puncak paling atas. That’s so really romantic! Hari ini sepulang les matematika, aku membantunya mempersiapkan segala macam apa yang akan diberikan untuk hari H nanti. Karena Kania tipa cewek yang feminine sekali, maka aku berpendapat supaya Akbar memberikannya bunga mawar merah. Lebih tepatnya lagi, 17 mawar merah karena sesuai dengan tanggal dimana ia menyatakan perasaannya terhadap Kania. Tak lupa pula boneka beruang berwarna pink karena Akbar tahu bahwa warna kesukaan Kania adalah pink. Juga tidak boleh ketinggalan, jurus-jurus rayuan maut Akbar yang harus sudah matang-matang dipersiapkan. Ya walaupun aku tahu bahwa mawar merah, boneka beruang pink, dan rayuan Akbar –yang entah seperti apa nantinya- memang sudah umum, namun aku yakin bahwa Kania dapat melihat ketulusan Akbar demi mendapatkan cintanya. Ah, jujur saja aku envy terhadap mereka berdua. Andai saja aku berada di posisi Kania saat ini, pasti aku senang sekali..
“By the way tengkyu ya vi, udah temenin gue seharian beli ini itu buat hari Sabtu nanti” Akbar tersenyum manis.
“Iya sama-sama bro. Lagian gue juga Cuma bisa bantu ini sama do’a. Haha” tawaku dipaksakan namun tampaknya Akbar tidak menyadari akan hal itu. “Lagian kalo gue nggak nemenin lo, yang ada lo malah beliin Barbie buat dia. Haha.. Gue gini-gini juga punya sisi femininnya dong. Jangan salah..”
“Haha iya gue percaya kalau lo tuh cewek tulen. Sayang aja casing luarnya cowok.” Akbar turun dari mobil. “Turun gih, pulang sana..”
“Sial kamu bar! haha awas aja, gak bakal gue doain biar lancar deh buat nanti hari Sabtu.” Kujejakkan kaki di atas jalan aspal perumahanku itu. Seketika harum tanah menyusup kedalam hidung karena hujan yang turun sedari siang tadi. Aku selalu menyukai keadaan setelah hujan, terlebih lagi jika ada Akbar didekatku.
“Sorry vi, gue bercanda. Yaelah kaya gak tau gue aja.” Kepalan tangan Akbar mendarat tepat diatas kepalaku. “Buruan sana masuk rumah, istirahat lo. Jangan makan lagi. Hehe”
“aduh! oke.. gue pulang ya. Bye. Hati-hati dijalan bar. Awas ada yang duduk di jok belakang lo. Haha” aku berjalan ke dalam rumah, menutup kembali pagar kuning yang kubuka tadi, dan membiarkan Livina hitam itu menghilang dari pandangan.
***
Hari yang ditunggu-tunggu sahabatku itupun tiba. Prosesi pernyataan cinta Akbar untuk Kania ternyata terhambat banyak gangguan teknis. Dompetnya tertinggal di kamar ketika ia sudah sampai di depan rumah Kania, alhasil ia harus kembali lagi kerumahnya yang jaraknya lumayan jauh dari sana. Belum lagi bunga mawar yang tidak sengaja terinjak oleh Akbar sendiri pada saat ia terburu-buru turun dari mobil. Ditambah hujan deras pada saat ia dan Kania berada di dalam bianglala yang berhenti tepat di puncak atas. What a day! Bayangan Akbar tentang hari yang indah itu kini jauh berbanding terbalik dengan kenyataan. Namun untunglah Kania menganggap itu semua bagian dari usaha keras Akbar untuk mendapatkan hatinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kania menyambut baik semua usaha Akbar selama 2 bulan ini untuknya. Mereka pun kini menjadi topik perbincangan yang hangat di sekolah. Seperti pasangan Ariel-Luna Maya, ganteng dan cantik, begitu juga mereka. Akbar dan Kania memang bisa dibilang merupakan pasangan yang ideal. Aku tak bisa menyangkal bahwa Akbar memang tampan, dia juga pintar terutama dalam bidang matematika. Integral, limit, Aljabar, dan yang rumus-rumus matematika yang lain sudah menjadi hal yang kecil untuknya. Sedangkan aku? Melihat angka-angka saja rasanya sudah mual. Kania pun begitu. Feminin, cantik, juga ‘cewek juara’. Sedangkan aku? Andai tidak ada aturan yang mengharuskan murid perempuan memakai rok, barangkali aku akan memakai celana seperti halnya murid laki-laki disekolah ini.
Ya, mereka memang pasangan yang sempurna. Aku ikut senang jika melihat senyum Akbar yang tersungging cerah jika bel pulang berbunyi. “Vi, gue duluan ya. Udah ditunggu Kania.. oke, take care vi.” Ujarnya seraya menepuk pundakku. Dalam sekejap Akbar sudah keluar kelas menuju kelas Kania yang terletak di seberang lapangan upacara sekolah.
***
Hari-hari Akbar kini disibukkan dengan Kania. Kini apa yang aku takutkan terjadi. Tidak ada lagi Akbar yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersamaku. Tidak ada lagi Akbar yang selalu berkunjung ke rumah walaupun hanya untuk mencontek PR Kimia yang aku kerjakan. Tidak ada lagi Akbar yang tidak pernah sungkan untuk mengusap kepalaku, menjitak, menggandeng ku ketika kami berjalan berdampingan. Kami memang bersahabat, namun apa yang kurasakan untuknya mungkin lebih dari sekedar sahabat. Akbar sudah menjadi bagian dalam hidupku.Apa yang aku rasakan terhadapnya, sama seperti –bahkan mungkin lebih- dari apa yang ia rasakan kepada Kania.
***
3 Bulan berlalu. Komunikasi antara aku dan Akbar memang seketika berubah. Aku tidak mau berburuk sangka, namun rasanya Kania perlahan-lahan mengambil Akbar jauh dari hidupku. Siang itu, ketika Akbar tengah terburu-buru memasukkan buku-bukunya kedalam tas, aku menghampirinya,
“Sombong deh lo sekarang. Ngajak gue pulang bareng udah gak pernah, apalagi main ke rumah. Unpredictable ya, lo bisa kayak gini. Sekali-kali main bareng lah bar.. Cerita-cerita lagi kek sama gue. Apa kek, tentang kucing lo si Garong kek, atau tentang Kania kek. Ups, kalian adem ayem aja ya? Syukur deh..” ucapku sinis. Rasanya semua unek-unek yang mengganjal seketika keluar dengan lancarnya tanpa aku kira sebelumnya.
“Maaf banget vi, gue gak sempet ngehubungin lo, apalagi main ke rumah lo. Gue juga sebenernya pengen banget. Tapi..” Handphone Akbar yang tergeletak di atas meja bergetar. Panggilan masuk dari Kania dengan tanda hati di akhir namanya. Pada hari itu sekolahku memang sedang tidak terdapat jam belajar. Karena minggu depan, kami siswa siswi kelas 3 akan berhadapan dengan UN. Ujian yang menjadi momok menakutkan setiap tahun. Maka, peraturan untuk tidak membawa handphone ke sekolah tidak berlaku untuk sementara waktu. “Iya sayang, sebentar lagi aku ke sana. Kamu tunggu aja dikelas. Ada yang mau aku omongin dengan KM kelasku. See you babe” Sambungan telepon dimatikan. Akbar menghela nafas seraya menggendong tas ranselnya. “Kania tuh cemburu sama lo. Udah gue jelasin kita cuma sahabat, tapi dia tetep gak mau tau. Dia gak mau kita dekat begini, vi. Gue disuruh jaga jarak sama lo..” Akbar mengusap kepalaku.
Aku terdiam. Tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Bagiku, mengetahui hal itu sama saja seperti ditusuk pisau tepat di jantung. Sakit.
“I’m deeply sorry, vi. Gue yakin lo ngerti kan ? Tapi gue yakin lama-lama Kania gak akan kayak gini lagi. Please, jangan marah ya. I’ll always be there for you. I promise”
“Gue ngerti kok” jawabku. Masih tertunduk. “Pulang gih, Kania nungguin lo tuh..” satu kepalan tinju tangan kananku mendarat di dadanya. “Hahaha, gapapa kali. Santai aja. Jagain dia ya sob. Masih banyak waktu ini. Lo sahabat terbaik yang gue punya. Dan gue percaya lo gak akan segampang itu ninggalin sahabat lo begitu aja kan? Hush. Go away. Take care, buddy” Aku tersenyum seraya meninggalkannya.
***
UN sudah dilewati dengan hasil yang cukup membanggakan. Aku bersyukur karena semua siswa-siswi sekolahku lulus semua, 100 persen. Aku diterima di sebuah perguruan tinggi di Bandung, dan Akbar melanjutkan studinya di sebuah universitas swasta di Jakarta.untunglah hubungan kami membaik. Kania sudah tidak terlalu membatasi ruang gerak antara Akbar dan aku. Akbar kini lebih terbuka menceritakan segala sesuatu nya denganku,terlebih lagi jika tentang masalahnya dengan Kania. Ngomong-ngomong tentang Kania,cewek juara itu mengikuti rekomendasi Ayahnya untuk kuliah di Melbourne, Australia. Lantas, bagaimana kabar Akbar dengan Kania? Mereka masih baik-baik saja. Memang hubungan mereka terpisahkan jarak yang cukup jauh. Namun yang kutahu hanya itu masalah yang mereka hadapi saat ini.
Lagi-lagi perasaan itu muncul. Perasaan takut akan kehilangan Akbar tiba-tiba muncul ketika malam itu, tepat ketika 1 tahun hubungannya dengan Kania .Dengan riang Akbar berkunjung ke rumah dengan Livina hitam yang selalu tampak bersih itu. Ia bercerita dengan penuh semangat bahwa besok, Kania akan datang ke Indonesia. “tomorrow is our 1st anniversary loh, vi. Hehe” Seperti biasa, Akbar meneguk kopi yang aku buatkan di cangkir bertuliskan Papa itu. Raut wajahnya riang, namun ada sesuatu yang aneh disitu.
“waah. Rasanya baru kemarin deh gue temenin lo keliling nyari mawar dan boneka pink buat dia. Haha cepet banget ya” Aku tersenyum riang.
***
Aku tidak menyangka bahwa malam itu menjadi malam pertemuan kami yang terakhir. Malam terakhir Akbar menemuiku.Aku tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi. Seminggu setelahnya, tidak ada lagi kabar dari Akbar selain sms yang dikirim olehnya yang berbunyi : Luvi, sahabat terbaik yang pernah gue punya. Thanks for being around in my whole life. Gue seneng lo jadi sahabat gue vi. Terimakasih banyak buat semuanya yang udah kita alamin bareng-bareng ;)
Sore harinya kudapati banyak sms, juga telpon yang memberitahukanku bahwa Akbar gantung diri didalam kamarnya. Rasanya seperti kehilangan sebagian nyawa yang aku punya ketika mengetahui hal itu. Kedua orangtuanya sangat terpukul dengan kematian Akbar yang tragis. Kucoba hubungi Kania, namun hasilnya nihil. Kania seakan tidak ada jejak. Ia berada di Melbourne ketika pacarnya tergantung tak bernyawa disini. Pacar macam apa kamu?? Teriakku dalam hati. Kesal, marah, sedih, kecewa, seketika membuncah dalam satu waktu.
Kasus yang menimpa Akbar diselidiki oleh pihak kepolisian. Akupun dilibatkan dalam pemeriksaan. Begitu juga Kania. Kini diketahui bahwa ia menggantung diri karena kehamilan Kania yang memasuki bulan kedua. Akbar depresi karena ia merasa belum bisa bertanggung jawab atas bayi yang kini dikandung dalam rahim Kania. Segampang itukah Akbar mempertaruhkan nyawa dan masa depannya?
Aku sangat percaya bahwa Akbar menghormati kaum perempuan. Ia sangat menyayangi ibunya, dan tidak masuk akal rasanya jika ia menghamili Kania. Sedih rasanya mengetahui orang yang aku cintai ,meninggalkan dunia dengan sia-sia. Sampai kapanpun aku yakin, Akbar bukanlah penyebab kehamilan Kania saat ini. Bukan.
Endlessly aku mengagumi Akbar, masih sama seperti ketika ia dengan mudahnya membantuku menjelaskan sistematis penghitungan logaritma yang menurutku sangat sulit. Endlessly aku mencintai Akbar, masih sama seperti ketika pertama kali aku merasakan banyak kupu-kupu beterbangan didalam perutku disaat Akbar menarik tanganku untuk menikmati hujan yang turun deras siang itu. Endlessly, aku yakin ia akan kembali suatu hari menemuiku lagi, sama seperti ketika ia diam-diam tanpa sepengetahuan Kania datang kerumahku untuk menjelaskan bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Ya, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Tapi kenapa kamu menyelesaikan masalah dengan cara yang seperti ini, Akbar?
I’m gonna missing you Akbar, Endlessly..

2 comments:

  1. rahmi sayang , aku terharu ! sini cium dulu sini BAGUUUS mi baguuusss :*

    BalasHapus
  2. bagus mi,tapi gue ga suka akhirnya. Terus yg luvi turun dari mobil nyium bau ujan kan udh ada narasi tuh,tau2 ada dialog lagi rada ganjal gtu bcanya,hhe tapi so far,bgus. Terusin lg mi ceritanya,kl bsa luvi dpresi eh ada cowo yg dtg gt dkhdupanny tp brbanding trbalik gt ma akbar sifatny,hahaha trserah lu denk :P

    BalasHapus

 

Twitter Updates

Meet The Author