#39 Just be you, Ilona

Minggu, 13 Februari 2011
Pagi itu semilir angin terasa menerpa wajah, menyelinap diam-diam dari celah jendela kamar yang sedikit terbuka.Untuk pertama kalinya setelah dua tahun yang melelahkan kemarin, Ilona merasa bebas. Meskipun matanya sedikit sembab, hal itu sama sekali bukan sebuah masalah baginya.

 ***
Senin, 10 Januari 2011
Satu batang coklat sudah habis dilahap dalam satu waktu. Namun Ilona sama sekali tidak merasakan perubahan yang berarti terhadap moodnya. Awan hitam masih setia bertengger di dalam sana. Dalam ruang perasaannya yang kian menjalar menyesakkan dada. 
Ia tidak bisa bilang tidak bahwa apapun yang berada di sekitarnya tidak dapat membuatnya tenang. Begitu juga Aldo, cowok botak berbadan tambun itu tidak dapat berkutik melihat raut wajah sahabatnya yang sangat masam di awal hari sekolah. Sedari pagi tadi ketika matahari menyapa bumi dengan senyumnya yang hangat, upacara bendera selama empat puluh lima menit berlalu, pelajaran Geografi selama dua jam oleh Pak Udin, guru riang yang disukai seluruh murid seantero sekolah karena cara mengajarnya yang sangat konyol itu, hingga bel istirahat berbunyi pun benar-benar tidak dapat merubah raut mukanya setitik saja.
“Heh, kenapa lu?” tiga kata yang teramat ingin diucapkan Aldo yang ahirnya terlontarkan di tengah jam istirahat.
“Gak apa-apa..” jawab Ilona datar.
“Boong.” Aldo manyun. “Lu gak laper? Biasanya bel istirahat bunyi aja lu langsung cabut ke kantin ngebakso, trus bawa cemilan sama batagor ke kelas. Lah ini tumben lu bengong aja gak beranjak dari bangku..”
“Lagi males ke kantin gueeee. Lagian gue bawa coklat dari rumah.” Ilona menghela napas panjang. “Mungkin ini bakal jadi terakhir kalinya gue makan coklat do..”
“Maksudnya?” Aldo menaruh tanda tanya besar pasa pertanyaannya barusan.
“Iya, masa gak ngerti? Gue gak bakal makan coklat lagi. Gue gak mau makan sembarangan lagi, gak mau ngemil lagi, gak mau makan banyak lagi do. Gue mau..”
“DIET??” tanya Aldo seketika. Memotong rangkaian kalimat yang tengah mengalir deras keluar dari mulut Ilona.
“Iya..” seketika Ilona tertunduk lesu. Ia kembali menghela napas panjang “Semalem Fadel ke rumah gue. Mungkin udah dua bulan ini juga kita gak ketemu, dia kaget liat postur tubuh gue yang dia bilang kayak Nicole Scherzinger ini berubah drastis gak ada bedanya sama seekor ikan fugu..”
“Karena dia bilang gitu terus lu langsung merubah pola makan lu? Gitu? Baru kali ini gue denger lu mau diet.” kini giliran Aldo yang bengong.
“Iya..Lagian gue gak mau dibilang mirip ikan fugu. Enak aja..!” cibir Ilona. “Gue mau badan Nicole gue balik lagi do..”
“Oke, terserah sih. Tapi gue gak setuju aja, cuma karena dia bilang begitu, pola makan lu berubah drastis yang ujung-ujungnya malah nyiksa lu sendiri.”
“Gue gak mau Fadel ninggalin gue, do. Hati gue udah terlanjur cenat-cenut terlalu dalam sama dia. Gue gak mau nanti di Bandung sana dia lirik cewek yang lebih cantik dari pacarnya yang sekarang ikan fugu ini..” dalam hatinya, Ilona tidak mengerti. Mengapa anugerah terindah dari Tuhan yang dinamakan jatuh cinta itu kini terasa sangat perih.
“Oli, tolong resapin ya wejangan gue. Ehmm…” Naoli, panggilannya terhadap Ilona yang sengaja Aldo ubah namanya karena ia lebih suka mengacak-acak nama agar terdengar unik. Satu-satunya dan memang hanya Aldo yang memanggilnya seperti itu. Aldo berdeham. Sejenak bola mata mereka beradu. “Dengerin gue ya. Nih, kalau memang Fadel sayang sama lu, gak mungkin dia bakalan dengan mudahnya ninggalin lu cuma karena postur tubuh lu yang sedikit gemukkan sekarang. Lu tau, misalnya lu berubah jadi ikan paus pun dia akan tetap sayang selama lu masih jadi diri lu sendiri.”
Ilona hanya bisa terdiam. Meresapi benar perkataan Aldo tidak hanya ke dalam otaknya, namun jauh ke dalam hatinya. Namun hatinya berkata lain, ia tidak ingin kehilangan Fadel yang sudah dua tahun ini mengisi relungnya. Hati itu sudah terisi penuh dengan segala macam hal tentang Fadel, tentang mereka berdua, tentang Fadel dan Fadel. Hatinya tidak ingin kehilangan sosok itu.
“Thankyou  ya ndut. Gue mau beli minum. Haus...” Badannya berat untuk beranjak, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba menghilang dari pandangan sahabatnya sejak SMP itu. Ia hanya tidak ingin dipandang salah. Walaupun ia sendiri sadar bahwa niatannya untuk diet semata hanya karena Fadel, bukan kemauannya. Aldo hanya bisa menatapnya keluar dari kelas yang dipahaminya sebagai usaha Ilona keluar dari ‘zona merah’ barusan.
***
Minggu, 9 Januari 2011
“Aku bingung..” ucap Ilona singkat.
“Bingung kenapa lagi sih? Kerjaanmu itu bingung ini lah, bingung itu lah, binguuung terus. Aku sampe ikut bingung tau nggak.” Fadel ikut sewot.
“Gimana aku nggak bingung? Akhir-akhir ini kamu jarang ngasih kabar. Ini aja kalau aku nggak telpon ke rumah kamu, mana mungkin aku tau kamu lagi pulang atau enggak. Aku kira kemarin kamu lagi sibuk sama kegiatan kamu di kampus sampe nggak ada kabar seharian.” Berondong Ilona cepat, berharap lawan bicaranya itu meresapi perkataannya barusan.
“Maaf..”
Hening.
“Ehm, udah jam sepuluh nih. Udah malem.. aku pulang ya sayang..” Fadel beranjak dari duduknya. Seketika ia menghampiri Ilona yang tengah menunduk dihadapannya itu, lalu mengelus-elus rambutnya. “Maaf ya, jangan cemberut dong. Aku janji gak akan kayak kemarin lagi.”
Hening. Ilona tak tahu harus berucap apa. Samar-samar senyum itu mengembang dari bibir mungilnya. Hanya itu yang ia bisa lakukan.
“Aku pulang ya, ikan fugu sayang..” Fadel mengecup kening Ilona. Yang dikecup merasa tersentak. Ikan fugu?pikirnya.
“Kok ikan fugu? Kok bukan Nicole Scherzinger sayang lagi?” Ilona kembali bersuara. Sesaat ia lupa bahwa seharusnya ia tidak berucap apa-apa karena kekesalannya terhadap Fadel tadi.
“Hahaha, abisnya kamu udah nggak mirip Nicole lagi. Kamu gemukkan sayang, dua bulan nggak ketemu tau-tau kamu berubah jadi mirip ikan fugu gini sekarang. Lucu sih, tapi aku lebih suka kamu yang dulu.Boleh kasih saran? Lebih baik kamu diet aja deh sayang. hahaha.” Gelak tawa Fadel terlepas.
Fadel jelas tertawa. Tetapi Ilona tidak tahu harus menertawakan apa dan siapa. Tidak ada yang dapat ia tertawakan. Setelah intensitas pertemuan mereka yang berkurang karena Fadel kini berkuliah dan menetap di Bandung, setelah ia merasa sering dicueki, setelah perubahan sikap Fadel yang kian hari semakin terasa jauh saja, juga setelah perkataannya yang barusan ia dengar, Ilona tidak tahu harus berbuat apa. Tertawa pun bukan jalan terbaik yang bisa ia lakukan malam itu.
“Oke. Aku bakal diet” hanya itu yang bisa diucapkan. Ilona tersenyum kecut.
“Kamu bener-bener bĂȘte ya ? Yaudah, istirahat gih. semoga nanti pagi bete’nya cepet ilang..” Lagi, Fadel mengecup kening Ilona. “Aku pulang ya..”
“Bye..”
Jeep hitam yang tadi terparkir didepan pagar silver rumahnya sudah melaju kencang, menghilang dari hadapan Ilona bersamaan dengan air matanya yang tak terbendung lagi. Semalaman ia menangis dan berharap bahwa apa yang terjadi tadi hanya sebuah mimpi..

***

Sabtu, 29 Januari 2010
Ilona tengah berdiri di depan cermin, matanya mengamati dengan seksama setiap bentuk tubuhnya. Tangannya bergerak lincah menjelajahi titik-titik sensitif yang selama ini ia ingin perbaiki; pipi, lengan, perut, pinggang, paha juga betis yang masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan.’Ah, Fadel emang benar. Gue mirip fugu banget kalo diliat-liat..’ batinnya kecewa.
“Deeek, makan malem yuk. Pesanan pizza udah dateng tuh, yuk makan bareng Papa juga nih. Mumpung Papa lagi baik hati traktir kita makan pizza..” teriak mama dari balik pintu sana.
“Aku ngantuk maa. Sisain aja satu buat aku sarapan besook..” teriak Ilona dari dalam kamar. Malas keluar dari sarangnya. Akhir-akhir  ini ia tidak makan malam, dengan beribu alasan sudah disiapkan jikalau mama mengajaknya makan.
Ilona menatap layar handphone yang tergeletak di atas kasur. Tidak ada apa-apa. Tidak ada pesan, bahkan telepon dari Fadel selama tiga hari ini. Rindu itu sudah meluap-luap dalam hatinya. Nomornya tidak aktif, ia sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tetap saja suara cantik dari kotak suara operator telepon yang menyambutnya. Fadel seperti hilang menguap di udara. Tiba-tiba layar itu menyala, bergetar dengan ringtone MYMP-I miss You berbunyi. Ilona menghela napas panjang. Pesan dari Aldo..
Oli, liat bintang d luar. Bagus bgt. Nyesel lu klo gak liat. Oh ya, gue td liat d tv, trnyata nggak makan mlm sama sekali g dianjurkn dlm diet. Makan lu, dikit aja yg pnting perut lu ga kosong.
Dengan segera ia membuka jendela kamarnya yang terletak di lantai dua itu. Seketika ia merasakan ketenangan yang luar biasa. Banyak sekali bintang bertaburan di hamparan langit malam yang luas nan gelap. Indah. Juga ada bulan di situ. Berbentuk sabit, melengkungkan senyumnya seperti mengajak Ilona untuk tersenyum melupakan masalah yang selama ini bersarang di pikirannya. Untuk saat itu, pertama kalinya ia merasakan ketenangan yang luar biasa. Tuhan ada apa dengan Fadel? Gimme the answer please. Tapi apapun yang terjadi nanti, semoga itu yang terbaik. Oh ya, jaga Fadel di sana ya. Kumohon.. bisiknya tanpa mengedipkan mata menyaksikan hamparan lukisan Tuhan yang paling luar biasa. 

***

Rabu, 9 Februari 2011
“Lu sih nggak denger suggest gue. Harusnya lu makan aja seperti biasa, tapi porsinya yang dikurangin. Jangan nekat nggak makan tapi olahraga jalan terus. Itu sih kelewatan namanya, oli.” Aldo mengeluarkan roti dari satu kantong plastik besar yang ia bawa dari supermarket sepulang sekolah. “Nih, makan dulu. Abisin. Gue nggak mau lu ketinggalan pelajaran cuma gara-gara diet.”
“Thanks do.” Ilona tertunduk. “Ia nih badan gue kayaknya kaget. Abis mau gimana lagi? Gue gak mau gendut.”
“Nggak mau gendut atau nggak kehilangan Fadel karena lu gendut?” tanya Aldo tegas. Pandangannya focus menatap mata Ilona yang sayu,
“Dua-duanya..” jawab Ilona lirih.
“Ilona, please. Open your eyes..”

***

Sabtu, 12 Februari 2011
“Sorry banget ya li, tapi gue nggak mau ngeliat sahabat gue ngelakuin hal sia-sia. Mulai sekarang lu gak usah diet atau semacemnya itulah li. Gue gak suka liat lu kurus tersiksa” Sore itu Aldo menyodorkan secarik foto yang ia dapat dari kerja kerasnya mencari keberadaan Fadel di Bandung sana. Hanya itu yang ia dapat, sosok Fadel yang tengah menggandeng mesra cewek cantik di tengah jejeran factory outlet semalam. “Mungkin cuma ini yang gue dapet, tapi ini udah mewakili jawaban dari ketidakhadiran dia buat lu selama ini li. Jelas, kan? Jadi mulai sekarang just be you, Ilona. Lu nggak mesti jadi orang lain terlebih lagi buat orang macam ini.”
Mulut Ilona terkunci rapat. Jantungnya terasa seperti tercelat ingin keluar dari rongga dada. Dari secarik foto itu, Ilona kini tahu jawabannya..
***
 “Jadi?”tanya Fadel harap-harap cemas di ujung telpon sana.
“Bilang kata maaf memang gampang. Aku maafin kamu, tapi hati sepertinya masih butuh waktu buat memaafkan. So sorry Fadel, aku nggak bisa jadi mannequin kamu terus..”
Sambungan telepon terputus setelah tiga puluh menit lamanya mereka berdua saling bertukar pikiran tentang apa yang harus di perbaiki.Ilona memulai hari baru tanpa dibayang-bayangi Fadel. Ia kini tahu betul bahwa cinta memang tidak bisa memaksa walaupun hati selalu menginginkannya. Malam  itu ia berharap kepada bulan, bintang, kelamnya langit malam, juga sang pemilik semua ini, bahwa hari esok ia akan memulai hari barunya sebagai dirinya sendiri.

0 comments:

Posting Komentar

 

Twitter Updates

Meet The Author